PELAYANAN PEMULIHAN KEPADA PENYANDANG DISABILITAS MENTAL DALAM BINGKAI REFORMASI

Setiap tanggal 10 Oktober di seluruh dunia memperingati sebuah hari yang disebut sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia atau World Mental Health Day. Peringatan yang awalnya lahir pada tahun 1992 ini sebelumnya hanya bertujuan untuk mempromosikan Kesehatan mental dan mendidik masyarakat tentang isu-isu yang relevan khususnya seputar Kesehatan mental. Di dalam keterangannya India today menjelaskan bahwa Kesehatan mental adalah salah satu bidang kesehatan masyarakat yang paling diabaikan. Sekitar 1 miliar orang hidup dengan gangguan mental; 3 juta orang meninggal setiap tahun karena penggunaan alkohol yang berbahaya, dan satu orang meninggal setiap 40 detik karena bunuh diri. Stigma sosial, diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi manusia dari orang dengan kondisi kesehatan mental lebih lanjut memicu situasi gangguan kesehatan mental. Adapun yang termasuk di dalam kelompok gangguan kesehatan mental atau yang biasa juga disebut sebagai penyandang disabilitas mental adalah orang-orang yang telah mendapatkan diagnosa skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, gangguan kepribadian, autis, dan hiperaktif dari ahli kesehatan jiwa. Apabila melihat fakta yang sedemikian rupa tentang Kesehatan mental, lantas bagaimana seharusnya sikap umat pilihan Tuhan dalam memandang keberadaan mereka yang memiliki diagnosa disabilitas mental?

Manusia adalah satu-satunya makhluk paling istimewa yang diciptakan langsung oleh Allah Tritunggal sendiri di muka bumi. Berbeda dari ciptaan yang lainnya dimana Allah cukup dengan berfirman saja maka semuanya jadi, tetapi manusia tidak hanya sekedar diciptakan melalui firman saja, tetapi Allah sendiri yang membentuk manusia dengan sedemikian rupa dari debu tanah dan memberikan nafas hidup melalui hidungnya sehingga manusia menjadi makhluk yang hidup (Kej. 2:7). Keistimewaan manusia sebagai ciptaan Allah yang mulia juga semakin jelas ketika manusia dijadikan pamungkas dari seluruh proses penciptaan yang ada sehingga Allah melihat bahwa yang tadinya sebelum ada manusia semua ciptaanNya hanya mendapat status baik saja, tetapi setelah manusia tercipta maka seluruh karya penciptaan Allah dijelaskan dalam Kejadian 1:31 menjadi sungguh amat baik.
Indikator yang menjelaskan betapa istimewanya manusia tidak hanya dilihat dari bagaimana ia menjadi puncak dari segala penciptaan Allah, tetapi dapat juga dilihat dari rancangan awal Allah menciptakan manusia dimana mereka diciptakan menurut gambar dan rupaNya sendiri serta diberikan mandat secara langsung supaya dapat berkuasa dan mengusahakan bumi dengan sebaik-baiknya. Betapa mulianya manusia dimata Allah sehingga pemazmur menuliskan dalam mazmurnya “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya: kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan. ” (Mazmur 8:4-9). Berbeda dengan terjemahan NIV yang menerjemahkan kata “Allah” dalam ayat 6 sebagai “angels” (You have made them a little lower than the angels), maka tidaklah berlebihan jika LAI menerjemahkan ayat 6 tersebut sebagai “namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah…” karena memang dalam bahasa Ibrani menggunakan kata elohim (Allah) sehingga hal ini selaras dengan kejadian 1:26 dimana manusia sendiri diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya agar menjadi serupa dengan Dia termasuk kuasa yang diberikan kepada mereka yaitu kuasa untuk menaklukan ciptaan-ciptaan yang lain.
Manusia sebagai ciptaan Allah pun telah didesain dengan sedemikian rupa agar dapat memancarkan kemuliaan Allah karena ia sendiri adalah imago Dei, sehingga seharusnya mausia mempunyai kualitas ilahi dan sudah seharusnya pula selalu membawa kemuliaan Tuhan Allah dalam hidupnya. Dalam katekismus Westminster sendiri menjelaskan bahwa tujuan manusia diciptakan Allah adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya. Hanya saja sejak kejatuhan Adam dan Hawa kedalam dosa membuat manusia tidak dapat lagi mampu untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya. Dengan kata lain manusia telah mengalami kerusakan total.

Kejatuhan manusia kedalam dosa tidak dapat dipandang sebelah mata. Peristiwa kejatuhan manusia kedalam dosa telah menjadi satu persoalan paling serius yang harus dihadapi oleh seluruh umat manusia dimana ia telah kehilangan kemampuan untuk dapat menjadi imago Dei dengan sempurna. Ketika manusia mengalami kejatuhan di dalam dosa maka si imago Dei ini telah mengalami kerusakan total. Kerusakan Total yang dialami manusia tidak hanya membuat ia menjadi selalu dan semata-mata berbuat dosa saja, tetapi juga membuat manusia mengalami ketidakmampuan total yaitu dimana manusia tidak dapat melakukan, memahami, atau bahkan menginginkan kebaikan. Jadi akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa selain membuat manusia menjadi selalu dan semata-mata berbuat dosa saja dalam setiap tindak tanduknya, manusia berdosa juga telah mengalami kehilangan kemampuan untuk dapat menjadi baik di sepanjang hidupnya.

Kehilangan kemampuan untuk melakukan, memahami dan menginginkan kebaikan mengakibatkan tidak sedikit manusia yang pada akhirnya bertumbuh menjadi pribadi-pribadi yang mudah mengalami kerapuhan dalam hidupnya. Terlebih ketika manusia berdosa dan rapuh ini harus mengalami dan menghadapi berbagai macam tantangan dalam hidupnya. Tidak semua manusia dapat bertahan dan mampu berjuang ketika mereka harus berhadapan dengan konflik dihidupnya. Bagi yang mampu menghadapinya maka hal tersebut tidak akan membawa dampak serius dalam diri mereka, tetapi bagi orang-orang yang tidak mampu menghadapi konflik dalam hidupnya maka hal ini dapat membuat kondisi psikologi atau kejiwaan yang rapuh menjadi mudah terganggu. Bagi pribadi yang mudah terganggu kondisi psikisnya ini maka dikenal dengan istilah ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan) yaitu orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan atau kualitas hidup sehingga memiliki resiko mengalami gangguan jiwa. Dan apabila persoalan ODMK ini tidak segera ditangani dengan baik, maka mereka akan meningkat statusnya menjadi ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) yaitu orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang terwujud dalam bentuk sekumpulan gejala dan perubahan perilaku yang bermakna dan dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsinya sebagai manusia. Dengan demikian diperlukan suatu pelayanan yang tepat kepada orang-orang yang mengalami kerapuhan dalam jiwanya.
Ketidakmampuan para ODMK maupun ODGJ dalam berinteraksi dan berpartisipasi di tengah-tengah masyarakat dalam jangka waktu yang lama dapat disebut juga sebagai penyandang disabilitas mental. Hal ini sesuai dengan definisi yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka melalui Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial RI yaitu yang dimaksud dengan penyandang disabilitas mental adalah Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang dalam jangka waktu lama mengalami hambatan dalam interaksi dan partisipasi di masyarakat. Pelayanan yang tidak tepat kepada penyandang disabilitas mental tidak hanya membuat mereka semakin mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsinya sebagai manusia, tetapi akan semakin memperparah kondisi disabilitas mental yang dideritanya. Akibatnya adalah para penyandang disabilitas mental akan semakin tidak dapat memuliakan Tuhan dalam hidupnya dan menikmati Dia di sepanjang usianya sebagaimana tujuan awal manusia diciptakan.

Peran penting teologi dalam pelayanan disabilitas mental

Sebagian besar umat manusia pada umumnya tidak ingin menyandang status disabilitas dalam dirinya terlebih lagi bila disebut sebagai penyandang disabilitas mental. Mengapa demikian? Karena Sebagian besar manusia masih memiliki stigma negative atau memandang rendah siapa saja yang memiliki status sebagai penyandang disabilitas mental. Ini terbukti dari masih banyak ditemui keluarga-keluarga yang berusaha menyembunyikan anggota keluarganya yang didiagnosa dengan disabilitas mental tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan penanganan atau pelayanan yang tepat. Perlakuan semacam ini dapat diartikan juga sebagai penolakan akan kehadiran mereka di tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Selain itu tidak sedikit dari keluarga atau warga gereja yang melakukan kesalahan dalam memberikan pendekatan rohani kepada penyandang disabilitas mental karena kurangnya pemahaman teologi yang benar. Oleh sebab itu untuk mengatasi persoalan ini maka diperlukan dasar teologi yang benar agar setiap orang, khususnya sebagai umat pilihan Tuhan, dapat menerima, melayani dan memperlakukan para penyandang disabilitas mental dengan sebagaimana mestinya.

Beberapa kasus penulis jumpai bahwa banyak penyandang disabilitas mental semakin tidak dapat memiliki kualitas hidup yang baik dalam dirinya akibat menerima pengajaran teologi yang salah. Pengajaran teologi yang salah ternyata tidak membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh para penyandang disabilitas mental, tetapi sebaliknya justru memperparah gejala gangguan yang dimilikinya. Sebagai contoh adalah dimana ketika seorang penyandang disabilitas mental jenis skizofrenia dan gangguan waham yang mengalami halusinasi dan delusi dalam dirinya. Ketika seseorang skizofrenia dan gangguan waham mendapatkan pemahaman teologi yang menekankan tentang penglihatan dan suara Tuhan audible, maka biasanya mereka menjadi lebih parah dan sulit untuk dikendalikan baik dalam perilaku maupun pemikiran. Pernah suatu ketika sekelompok tim pelayanan sebuah gereja berkunjung ke salah satu panti rehabilitasi kejiwaan lalu dihampiri oleh salah satu klien skizofrenia yang masih menjalani perawatan di panti tersebut. Lalu si klien menceritakan kepada ketua tim pelayanan ketika ia berdoa dan menyembah, ia dibawa oleh Tuhan Yesus menuju sebuah tempat yang sangat indah dan nama tempat itu adalah surga. K etua tim tersebut merespon dengan sangat antusias dengan mengatakan “puji Tuhan, anda mendapat anugerah penglihatan dari Tuhan dan sudah dibawa ke surga. Apa yang kamu lihat itu adalah benar-benar surga. Lalu apa lagi yang kamu lihat?” Pada akhirnya perkataan dari ketua tim tersebut mengakibatkan si klien semakin menjadi-jadi dalam menggambarkan halusinasinya.

Pengajaran teologi yang menekankan pentingnya iman melalui mujizat saja juga telah membuat para penyandang disabilitas mental semakin terpuruk hidupnya. Bukan penulis tidak percaya mujizat masih ada, tetapi mujizat Tuhan bisa bekerja melalui apa saja, termasuk melalui dokter dan pengobatan medis untuk penyandang disabilitas mental. Persoalan yang paling sering penulis jumpai adalah ketika penyandang disabilitas mental mulai mengalami pemulihan melalui terapi medis yang diberikan, tetapi kemudian berjumpa dengan pendeta yang anti pengobatan medis dan mengajarkan kepada yang bersangkutan bahwa hanya cukup dengan doa dan iman saja maka halusinasinya pasti hilang dan akan digantikan dengan suara Roh Kudus. Pengalaman seperti ini biasanya tidak menghilangkan gejala halusinasinya, tetapi sebaliknya justru akan membawa kondisi klien disabilitas mental mengalami kekambuhan kembali dan biasanya pengulangan kekambuhan yang dialaminya kembali akan membuat semakin parah gejala halusinasi yang dimilikinya. Akibatnya pelayanan pemulihannya akan menjadi lebih berat dari pada kekambuhan yang pertama kali dialami dalam hidupnya.

Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dasar teologi yang benar sangat menentukan proses pemulihan yang dibutuhkan oleh seseorang yang memiliki persoalan disabilitas mental dalam dirinya. Bukan hanya untuk penyandang disabilitas mental saja, dasar teologi yang benar juga membantu para keluarga, caregiver, komunitas, warga gereja, hamba Tuhan dan semua yang terlibat dalam pelayanan kepada penyandang disabilitas mental dapat memberikan penerimaan sepenuhnya kepada mereka. Dalam bukunya yang berjudul Teologi Sistematika, Thiessen menjelaskan bahwa iman yang benar, yang meliputi juga intelek, perasaan, serta kehendak, pastilah berdampak positif terhadap watak dan kelakuan. Manusia bertindak sesuai dengan apa yang benar-benar diyakininya. Dengan demikian iman yang benar dapat mempengaruhi intelektual, perasaan, kehendak seseorang termasuk bagi penyandang disabilitas mental sehingga baik watak dan kelakuan yang muncul dari dalam diri mereka pada akhirnya dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya. Iman yang benar mustahil dimiliki tanpa adanya teologi yang benar. Dengan demikian penyandang disabilitas mental sungguh-sungguh memerlukan teologi yang benar untuk dapat membantu proses pemulihan yang mereka butuhkan.
Sejak ratusan tahun lalu hingga saat ini dapat disaksikan bersama bahwa ternyata perkembangan pengajaran teologi semakin hari semakin banyak bermunculan, baik itu merupakan hasil pengembangan dari teologi yang lama maupun teologi baru / kontemporer. Dari banyaknya pengajaran teologi yang beredar ada diantaranya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Apabila pengajaran teologi yang tidak benar ini diajarkan kepada penyandang disabilitas mental maka dapat menyebabkan gejala yang muncul dari dalam diri penyandang disabilitas mental bukannya berkurang melainkan justru semakin bertambah parah. Senada dengan pengalaman hidup yang telah dibagikan oleh Muriwali Yanto Matalu tentang suara Tuhan, dimana ia menjelaskan bahwa “Suara Tuhan memimpin dengan cara yang paling tenang dan rasional, sedangkan suara Iblis memimpin dengan cara yang paling kacau dan irasional”, demikian pula dengan sebuah pengajaran teologi. Teologi yang kurang tepat dalam menjelaskan segala sesuatu tentang Allah dan kedaulatan-Nya dapat membawa penyandang disabilitas mental beserta orang-orang yang merawatnya semakin mengalami kondisi kacau dan irasional dalam mengusahakan pemulihan, walaupun mungkin hal tersebut tidak pernah disadari oleh mereka sendiri. Akibatnya mereka mudah mengalami putus asa ketika saling berhadapan dan mengusahakan pemulihan. Sedangkan teologi yang tepat dalam menjabarkan tentang Allah dengan segala kedaulatan-Nya, dapat menuntun para penyandang disabilitas mental beserta orang-orang yang merawatnya kepada jalan pemulihan yang lebih tenang dan rasional. Akibatnya pemulihan dapat dialami sepenuhnya, baik dari sisi penerimaan diri maupun pengenalan kepada Allah yang sejati, sehingga disabilitas mental tidak lagi menjadi penghalang untuk memuliakan Allah dan menikmati-Nya. Sejauh ini menurut pandangan penulis sendiri teologi yang menitikberatkan tentang Allah berdaulat, segala sesuatu ada di dalam kedaulatan Allah Tritunggal, adalah teologi yang paling tepat untuk diaplikasikan dalam pelayanan pemulihan terhadap penyandang disabilitas mental dan orang-orang terdekat yang melayani mereka.

Allah Berdaulat, Segala Sesuatu ada di dalam Kedaulatan Allah Tritunggal.

Pemahaman tentang kedaulatan atau providensi Allah yang benar tidak dapat ditemukan selain di dalam teologi reformed. Jika kita ingin berbicara tetang Allah yang berdaulat maka pokok pembahasan ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh tokoh-tokoh reformed khususnya Jhon Calvin. Dan harus diakui pula bahwa dengan menyadari dan mengakui Allah berdaulat, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak dapat menerima persoalan penyandang disabilitas mental, baik si penyandang itu sendiri maupun keluarganya. Hal ini dikarenakan providensi Allah tidak hanya untuk menetapkan seseorang selamat atau binasa saja, tetapi juga segala sesuatu yang terjadi di dalam dunia ini tidak ada satupun yang luput dari kedaulatan Allah, termasuk di dalamnya adalah persoalan disabilitas mental.

Menerima kedaulatan Allah dan mengakui providensi-Nya rupanya masih belum banyak dihidupi oleh penyandang disabilitas mental maupun keluarga atau orang-orang yang terlibat dalam pelayanan pemulihan. Biasanya hal ini terjadi karena kemungkinan besar mereka belum pernah menerima atau mendengar pengajaran tentang kedaulatan Allah yang benar. Hal ini bisa disebabkan karena gereja dimana mereka beribadah kemungkinan besar tidak berlatar belakang teologi reformed, sehingga mereka masih sering mengkaitkan sebagian besar permasalahan disabilitas mental dengan kuasa kegelapan atau kerasukan roh jahat. Akibatnya adalah penanganan yang salah dalam usaha untuk memulihkan penyandang disabilitas. Salah satu penanganan yang salah dalam pemulihan terhadap penyandang disabilitas mental adalah dengan memberikan pelayanan doa pelepasan roh jahat dari tubuh si penyandang.

Salah satu peristiwa yang pernah penulis jumpai adalah ketika menerima seorang putri penyandang disabilitas mental yang sebelum penulis layani kedua orang tua penyandang tersebut membawa putri mereka kepada seorang pendeta dari gereja berteologi kharismatik. Di gereja tersebut penyandang ini dilayani doa pelepasan oleh pendeta dan timnya dengan cara penengkingan disertai suara keras seraya mengusir roh jahat yang dianggap tinggal dalam diri penyandang tersebut. Di ceritakan oleh kedua orang tuanya saat proses doa pelepasan tersebut tubuh anak mereka bergerak-gerak gemetar dengan sangat keras hingga menggelepar-gelepar di lantai disertai keringat dingin dan tumpah-tumpah dalam gereja tersebut. Dalam sesi konseling yang dilakukan, dengan wajah penuh kesedihan dan penyesalan, penyandang disabilitas mental tersebut mengajukan pertanyaan kepada penulis sebagai berikut “sebegitu burukkah hidup saya sebagai pengikut Yesus hingga ada banyak setan dalam diri saya? Apakah masih kurang iman percaya saya kepada Yesus hingga setan bisa memasuki diri saya? Saya sejak kecil sekolah minggu, percaya Yesus, sudah di baptis, tetapi mengapa masih bisa dirasuk setan?” melalui kejadian ini maka dapat dilihat bahwa pelayanan doa pelepasan yang di berikan oleh pendeta dari gereja kharismatik tersebut ternyata tidak menyelesaikan masalah disabilitas mental tetapi justru menambah berat kondisi psikis penyandang. Ini menjadi salah satu bukti bahwa teologi yang kacau dan irasional, yang tidak melibatkan pengertian tentang kedaulatan Allah yang sempurna hanya menambah penderitaan dan memperparah gejala yang muncul dari dalam diri penyandang disabilitas mental.

Menjadi seseorang yang memiliki kelemahan disabilitas mental atau keluarga yang salah satu anggotanya memiliki diagnose tersebut bukanlah impian banyak orang. Sudah dapat dipastikan bahwa tidak hanya penyandang disabiltas mental yang menyadari kelemahannya saja, tetapi keluarga mereka dan orang-orang yang mengasihi mereka pun pasti pernah timbul pertanyaan dari dalam hati mereka yaitu “mengapa aku terlahir sebagai penyandang disabilitas mental?” atau “mengapa aku harus memiliki anak/saudara yang mengalami disabilitas mental?”. Pertanyaan ini mirip sekali bahkan sama seperti pertanyaan para murid yang diajukan kepada Tuhan Yesus ketika mereka melihat seorang memiliki disabilitas sensorik yaitu buta sejak lahirnya. Saat itu murid-murid bertanya kepada Yesus “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yoh. 9:2). Tuhan Yesus dalam menjawab pertanyaan murid-murid yang mempertanyakan dosa siapa yang menyebabkan seseorang mengalami kebutaan sejak lahirnya tersebut sangat tepat dan tidak terlepas dari prinsip kedaulatan Allah yang mulia. Tuhan Yesus menjawab pertanyaan para murid dengan mengatakan “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia..” (ay.3). jawaban ini berlaku juga untuk menjawab pertanyaan dari banyak para penyandang disabilitas mental beserta orang-orang terdekat mereka, bukan dosa mereka ataupun dosa orang tua mereka sehingga mereka dilahirkan dan memiliki disabilitas mental, tetapi justru melalui merekalah Allah harus menyatakan pekerjaan-pekerjaan-Nya yang mulia.

Untuk dapat menerima konsep tentang kedaulatan Allah memang bukanlah perkara yang mudah. Tanpa anugerah Allah mustahil manusia berdosa dapat mengakui dan menerima bahwa Allah berdaulat secara penuh atas ciptaannya. Sependapat dengan MYM yang mengatakan “Berkaitan dengan kedaulatan dan kemuliaan Allah, dapat kita katakan bahwa jika Allah adalah Allah yang berdaulat, baik di dalam rencana dan ketetapan-Nya maupun di dalam kuasa-Nya, maka tujuan yang paling mungkin dari semuanya itu adalah untuk kemuliaan diri-Nya.” Maka kasih Allah Tritunggal terlihat begitu jelas melalui kedaulatan-Nya dimana Ia juga dengan rela memakai para penyandang disabilitas mental untuk tujuan kemuliaan diri-Nya. Dengan demikian dalam kondisi seburuk apa pun seorang penyandang disabilitas mental di hadapan orang lain, dalam kedaulatan-Nya, Ia mampu membuat mereka semua mencapai tujuan semula mereka diciptakan yaitu hidup untuk menikmati dan memuliakan Allah.

Semeleh dalam kedaulatan Allah

Pernahkah saudara mendengar kata semeleh? Bagi orang-orang yang pernah tinggal di pulau Jawa mungkin kata semeleh tidaklah asing pernah di dengar oleh telinga mereka. Karena kata semeleh sudah menjadi salah satu filosofi kehidupan orang suku jawa pada umumnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri kata semeleh memiliki arti yaitu penuh penyerahan. Penuh penyerahan disini bukan berarti hidup yang menyerah karena menghadapi berbagai macam kesulitan. Sebaliknya kata ini memiliki makna dalam situasi sulit seperti apa pun, tetap berusaha melakukan yang terbaik sambil menyerahkan segalanya kepada Tuhan.

Dalam tradisi budaya Jawa kata semeleh ini secara lengkap ditulis sebagai berikut: Sabar, Sareh, Sumeh, Semeleh. Sabar memiliki arti sabar; sareh memiliki arti tenang; sumeh memiliki arti tersenyum dan semeleh memiliki arti pasrah. Sehingga Apabila empat kata tersebut dirangkai menjadi satu kesatuan kalimat, maka akan memiliki makna hadapilah segala kesulitan hidup yang dijumpai dengan cara tetap sabar, tenang, tersenyum dan penuh penyerahan kepada kedaulatan Allah. Hanya dengan sikap seperti inilah maka pemulihan yang dirindukan oleh para penyandang disabilitas beserta keluarga mereka tidak menjadi mustahil.

Dengan memahami dan menerima bahwa Allah berdaulat dan segala sesuatu ada di dalam kedaulatan Allah, serta semeleh kepadanya, maka beban hidup yang dimiliki para penyandang disabilitas mental dan keluarga mereka tidak lagi menjadi suatu beban yang memberatkan, tetapi sebaliknya dalam menjalani keseharian mereka akan merasa lebih ringan karena mengerti bahwa Allah sudah memiliki rencana terindah-Nya untuk mereka di dalam kedaulatan-Nya. Katekismus Heidelberg mendefinisikan providensi Allah sebagai berikut “Providensi Allah adalah kuasa Allah yang mahakuasa dan mahahadir, yang dengannya Ia menopang sorga, bumi, dan segala ciptaan dengan tangan-Nya dan mengaturnya sehingga tidak ada daun atau helai daun, hujan atau kemarau, tahun yang subur atau kemiskinan – atau segala sesuatu – terjadi pada kita secara kebetulan selain atas izin Bapa sorgawi kita”.

Jadi apabila ada seseorang atau umat pilihan yang sedang mengalami pergumulan tentang disabilitas mental, mari sadari bahwa hal itu terjadi atas seizin Allah Tritunggal supaya pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan melalui mereka. Jika sorga , bumi dan segala ciptaan saja ditopang tangan-Nya dengan sedemikian rupa, terlebih lagi mereka yang mengalami persoalan hidup berupa disabilitas mental. Oleh sebab itu semeleh dalam kedaulatan Allah Tritunggal adalah jalan awal bagi semua orang yang membutuhkan pemulihan di dalam hidupnya, termasuk mereka para penyandang disabilitas mental. Tuhan Yesus memberkati.

Penulis bersama istri adalah co-founder www.rumahpemulihanefata.org, sebuah lembaga yang memberikan pelayanan khusus kepada penyandang disabilitas mental. Selain itu saat ini juga melayani sebagai sekretaris umum Sinode Gereja Pantekosta Isa Almasih Indonesia (GPIAI) dan ketua STT Efata Salatiga. Penulis juga terlibat menjadi salah satu pengurus di PGLII Jawa Tengah.